Islam mengatur perikehidupan perempuan bukan untuk mengekang aktivitasnya, justru mendudukkannya pada posisi kemulian.
Zaman memang telah berubah. Di era globalisasi semakin banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Berbagai macam alasan dikemukakan untuk mencari alasan untuk bekerja. Antara lain mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Tetapi banyak pula perempuan yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidaklayakan perlakuan, seperti cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi kurang layak), shift lembur siang-malam, sampai pelecehan seksual.
Allah menciptakan pria dan perempuan sama ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaan). Artinya, pria dan perempuan diciptakan memiliki ciri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Pria dan perempuan dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal.
Allah juga membebankan hukum yang sama terhadap pria dan perempuan apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya dalam pembebanan kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma'ruf nahi munkar dan yang sejenisnya.
Semua itu dibebankan kepada pria dan perempuan tanpa ada perbedaan, karena semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya. Semata karena sifat kemanusiaan yang ada pada keduanya, tanpa melihat apakah seseorang itu pria ataupun perempuan.
Berbeda kalau suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria saja atau perempuan saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda pula. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Lagi pula Islam menetapkan, kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab pria.
Maka dari itu, perempuan tidak terbebani (wajib) untuk mencari nafkah (bekerja) baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (kalau perempuan tersebut telah menikah) atau walinya (kalau belum menikah). Hebatnya lagi, sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya: yakni membebankan tanggung jawab tersebut kepada daulah (baitul maal). Bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. Lalu, bolehkah perempuan bekerja?
Dalam Hukum Islam, apabila seorang muslim/muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah. Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajibannya yang lain seperti shalat lima waktu, mengenakan jilbab ketika keluar rumah, dan lain-lain.
Perlu disadari, jika tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga ini tidak terlaksana dengan baik, tentu akan mengakibatkan punahnya generasi manusia dan kacaunya kehidupan keluarga. Maka dari itu diperlukan kerjasama antara pria dan perempuan dalam menjalani hidup ini, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi reproduksi perempuan dengan produktivitasnya ketika ia bekerja, karena semua ini tergantung pada prioritas peran yang dijalaninya.
Ketika perempuan bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya dihalalkan oleh syara, ia pun harus memastikan situasi bekerjanya sesuai ketentuan syara. Apabila dalam melakukan pekerjaan itu mengharuskan perempuan bertemu dengan pria, maka ia pun harus terikat pada ketentuan syara yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan perempuan dalam kehidupan umum (bermasyarakat).
Artinya ia tidak boleh bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan. Interaksi kerja harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan jinsiyah (seksual), sehingga ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan potensi keperempuanan (kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan, dan lainnya) untuk menarik perhatian lawan jenis.
Bekerjanya perempuan haruslah karena kemampuan yang dimiliki perempuan sesuai bidangnya. Pengaturan sistem ini merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi pelecehan seksual pada perempuan saat ia bekerja. Sejak awal Islam menjaga agar kehormatan perempuan ketika ia menjalankan tugasnya dalam
kehidupan bermasyarakat.
Oleh: Hastin Umi Anisah MM Staf Pengajar FE Unlam
Rabu, 05 Januari 2011
Muslimah Boleh Berkarir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar