Rabu, 05 Januari 2011

Muslimah Boleh Berkarir

Islam mengatur perikehidupan perempuan bukan untuk mengekang aktivitasnya, 
justru mendudukkannya pada posisi kemulian.
 
Zaman memang telah berubah. Di era globalisasi semakin banyak perempuan yang 
beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Berbagai macam alasan dikemukakan 
untuk mencari alasan untuk bekerja. Antara lain mencari nafkah, mengejar 
kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan 
emansipasi. Tetapi banyak pula perempuan yang mengeluh ketika harus menghadapi 
ketidaklayakan perlakuan, seperti cuti hamil yang terlalu singkat (hak 
reproduksi kurang layak), shift lembur siang-malam, sampai pelecehan seksual. 
 
Allah menciptakan pria dan perempuan sama ditinjau dari sisi insaniahnya 
(kemanusiaan). Artinya, pria dan perempuan diciptakan memiliki ciri khas 
kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Pria dan perempuan 
dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal. 
Allah juga membebankan hukum yang sama terhadap pria dan perempuan apabila 
hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya dalam pembebanan 
kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar 
ma'ruf nahi munkar dan yang sejenisnya.
 
Semua itu dibebankan kepada pria dan perempuan tanpa ada perbedaan, karena 
semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya. Semata karena 
sifat kemanusiaan yang ada pada keduanya, tanpa melihat apakah seseorang itu 
pria ataupun perempuan.
 
Berbeda kalau suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria 
saja atau perempuan saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda 
pula. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria, 
karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Lagi 
pula Islam menetapkan, kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung 
jawab pria.
 
Maka dari itu, perempuan tidak terbebani (wajib) untuk mencari nafkah (bekerja) 
baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Perempuan justru berhak 
mendapatkan nafkah dari suaminya (kalau perempuan tersebut telah menikah) atau 
walinya (kalau belum menikah). Hebatnya lagi, sekalipun sudah tidak ada lagi 
orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam memberikan jalan lain 
untuk menjamin kesejahteraannya: yakni membebankan tanggung jawab tersebut 
kepada daulah (baitul maal). Bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. 
Lalu, bolehkah perempuan bekerja?
 
Dalam Hukum Islam, apabila seorang muslim/muslimah mendahulukan perbuatan yang 
mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) 
kepada Allah. Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan 
bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. 
Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan 
kewajibannya yang lain seperti shalat lima waktu, mengenakan jilbab ketika 
keluar rumah, dan lain-lain.
 
Perlu disadari, jika tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah 
tangga ini tidak terlaksana dengan baik, tentu akan mengakibatkan punahnya 
generasi manusia dan kacaunya kehidupan keluarga. Maka dari itu diperlukan 
kerjasama antara pria dan perempuan dalam menjalani hidup ini, baik dalam 
kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu 
dipertentangkan antara fungsi reproduksi perempuan dengan produktivitasnya 
ketika ia bekerja, karena semua ini tergantung pada prioritas peran yang 
dijalaninya.
 
Ketika perempuan bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan 
dijalankannya dihalalkan oleh syara, ia pun harus memastikan situasi bekerjanya 
sesuai ketentuan syara. Apabila dalam melakukan pekerjaan itu mengharuskan 
perempuan bertemu dengan pria, maka ia pun harus terikat pada ketentuan syara 
yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan perempuan dalam kehidupan umum 
(bermasyarakat).
 
Artinya ia tidak boleh bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa 
aturan. Interaksi kerja harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan 
jinsiyah (seksual), sehingga ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan 
potensi keperempuanan (kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan, dan lainnya) 
untuk menarik perhatian lawan jenis.
 
Bekerjanya perempuan haruslah karena kemampuan yang dimiliki perempuan sesuai 
bidangnya. Pengaturan sistem ini merupakan tindakan pencegahan agar tidak 
terjadi pelecehan seksual pada perempuan saat ia bekerja. Sejak awal Islam 
menjaga agar kehormatan perempuan ketika ia menjalankan tugasnya dalam 
kehidupan bermasyarakat.
 
 
Oleh: Hastin Umi Anisah MM
Staf Pengajar FE Unlam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar